"Pergi membawa satu kopor, pulang juga membawa satu kopor."
Itulah prinsip hidup Letnan Jenderal (Purn) Sarwo Edhie Wibowo. Artinya jangan pernah memanfaatkan jabatan untuk mencari kekayaan. Bahkan Jenderal Hoegeng, sang polisi jujur juga mengakui bagaimana lurusnya Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) ini.
Saat masih berpangkat Kolonel, Sarwo Edhie menjadi komandan RPKAD. Satuan elite yang kini dikenal sebagai Kopassus TNI AD. Walau menjadi komandan, jangan bayangkan kehidupan Edhie mewah.
Istri Sarwo, Sunarti Sri Hadiyah, sering kebingungan mengatur uang belanja. Apalagi dia memiliki enam orang anak yang doyan makan. Jatah makanan bulanan sudah tak mencukupi. Jika kebetulan ada daging dan telur, maka dipotong kecil-kecil supaya semua kebagian. Kadang nasi dicampur jagung jika beras sedang sulit.
white; font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">
Tahun 1960an, markas RPKAD di Cijantung tentu tak seperti sekarang. Lokasinya masih sepi dan jauh dari pusat kota. Cukup sulit buat ibu-ibu berbelanja ke pasar.
Nah, Sunarti kemudian mencium peluang bisnis untuk menambah uang belanja. Dia rela pergi berkilo-kilo meter ke pasar Kramat Jati untuk membeli minyak goreng. Tetangga di Komplek Cijantung yang ingin membeli kemudian bisa membeli darinya. Penjualan minyak ini lumayan laku.
Sunarti tak pernah memberi tahu suaminya. Dia berpikir asal halal, yang penting bisa membantu dapur supaya ngebul. Sarwo pun tak tahu istrinya berjualan minyak.
Suatu hari saat Sarwo sedang duduk santai di rumah. Dia terkejut ada ibu-ibu berteriak.
"Bu Sarwooo, beli minyak goreeeng."
Sarwo baru tahu jika istrinya jadi 'raja minyak' di Komplek Cijantung.
Kisah ini diceritakan dalam buku Ani Yudhoyono Kepak Sayap Putri Prajurit yang ditulis Alberthiene Endah dan diterbitkan Red & White Publishing tahun 2010.
Kesederhanaan Sunarti juga terlihat saat mendampingi Sarwo yang naik pangkat dan menjadi Panglima Kodam di Medan. Jadi istri Pangdam berarti sering menghadiri acara-acara dengan pejabat seperti gubernur dan kapolda.
Tapi penampilan Sunarti sebagai istri prajurit tetap tak berubah. Dia tetap menggunakan selop lama yang dibawa dari Cijantung dan baju kebaya yang sedikit lusuh.
"Tidak ringan menjadi istri prajurit. Tapi itu adalah sebuah tanggung jawab yang mulia. Pengabdian seorang istri, bisa mendukung keberhasilan suami. Dan itu membutuhkan keikhlasan yang luar biasa. Jika tidak ikhlas semuanya akan terasa berat," kata Sunarti.